Perkembangan Pendidikan Waldorf

Pendidikan Waldorf merupakan suatu konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Rudolf Steiner, filsuf dan ahli pendidikan Jerman. 

Konsep pendidikan Waldorf bahkan dikemukakan sebagai salah satu teori pendidikan yang memberikan pengaruh besar bagi kaum nasionalis abad 1920-an dan 1930-an sebagai acuan pendidikan Taman Siswa (Shiraishi, 2001). 

Artikel ini menyajikan perkembangan pendidikan Waldorf, yaitu Waldorf Astoria Free School sebagai sekolah Waldorf yang pertama kali didirikan, serta perkembangan pendidikan Waldorf di berbagai benua lain.

Sekolah Waldorf Pertama, Waldorf Astoria Free School di Stuttgart, Jerman

Tidaklah lengkap apabila kita mendiskusikan tentang perkembangan Sekolah Waldorf tanpa menyebutkan pendirian sekolah pertama.

Pada tanggal 23 April 1919, Rudolf Steiner mengunjungi sebuah pabrik rokok Waldorf-Astoria di Jerman. Dia berpidato dihadapan para buruh parik tentang urgensi pembaharuan sosial, meliputi perorganisasian masyarakat, kehidupan politik, dan kebudayaannya (Barnes, 2012). 

Di sana, Steiner menyatakan bahwa mendorong masyarakat untuk mengembangkan kemampuan melalui pendidikan yang komprehensif lebih penting dibandingkan hanya memenuhi kebutuhan dunia industri pada saat itu saja (Uhrmacher, 1995). 

Pidato tersebut tidak hanya memberikan kesan bagi para buruh, melainkan juga menarik perhatian pemilik pabrik, Emil Molt. Molt dan Steiner telah berteman sejak Perang Dunia I, bersama mereka mengkaji tentang Antroposofi dan Threefold Social Organism, yang akhirnya dijadikan landasan pendidikan Waldorf.

Molt menyampaikan ketertarikannya terhadap ide pendidikan Steiner tentang 'sekolah komprehensif'. Awalnya, Molt ingin mendirikan sekolah bagi anak-anak buruh pabrik miliknya, sehingga kebutuhan praktis mereka di masa depan diharapkan terpenuhi (Steiner, 1995; Boland, 2015). 

Steiner menanggapi hal tersebut dengan sangat antusias. Dia setuju untuk mendirikan sekolah bersama Emil Molt apabila Molt bersedia memenuhi beberapa syarat, yaitu sekolah harus terbuka bagi seluruh anak-anak tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial dan ekonomi, sekolah merupakan kurikulum dua belas tahun, bersifat co-educational, minim interferensi dan bantuan ekonomi dari pemerintah, serta harus bersifat tidak memihak terhadap orientasi keagamaan tertentu (Barnes, 2012; Uhrmacher, 1995). Molt menyetujui persyaratan tersebut.

Pada tanggal 7 September 1919, Sekolah Waldorf Independen (Die Freie Waldorfschule) resmi dibuka; bernama Waldorf Astoria Free School yang terletak di Stuttgart dan dianggap relevan dengan konsep New Education di Jerman setelah berakhirnya perang dunia pertama (Gidley, 2017).

Waldorf Astoria Free School

Perkembangan Pendidikan Waldorf

Terdapat asumsi bahwa setelah berdirinya Waldorf Astoria Free School, sekolah-sekolah Waldorf menjadi sekolah bagi anak-anak penganut antroposofi dan tidak merepresentasikan sekolah bagi masyarakat umum (Boland, 2015). Walaupun demikian, pendidikan Waldorf berkembang sangat pesat di Eropa, kemudian disusul oleh pergerakan pendidikan Waldorf di benua-benua lainnya. 

Pergerakan sekolah Waldorf khususnya berkembang di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Australia/New Zealand (Gidley, 2017). Beberapa sekolah Waldorf juga diakui dan didirikan bagi warga pribumi (indigenous), antara lain Latoka Waldorf School di Dakota Selatan, Kusi Kawsay School di Peru, serta Everlasting Tree School dan Douglas Cardinal Foundation for Indigenous Waldorf Education di Canada (Boland, 2015). 

Pada Maret 2017, tercatat 1092 Sekolah Waldorf dan Rudolf Steiner di 64 negara serta 1857 Taman Kanak-kanak Waldorf di lebih dari 70 negara (Directory of Waldorf and Rudolf Steiner Schools, 2017).  Hingga kini, jumlah tersebut terus meningkat.

Perkembangan Pendidikan Waldorf di Eropa

Eropa masih dianggap sebagai tuan rumah utama bagi Pendidikan Waldorf. Tercatat hingga mencapai 734 Sekolah Waldorf untuk sekolah dasar hingga sekolah menengah, serta 2.219 taman kanak-kanak yang tersebar di berbagai negara (Directory of Waldorf and Rudolf Steiner School, 2017). 

Jerman menjadi negara dengan Sekolah Waldorf terbanyak, yaitu 237 Sekolah Waldorf dan Rudolf Steiner, serta 561 taman kanak-kanak. Selain Jerman, Belanda menjadi negara dengan jumlah Sekolah Waldorf yang banyak. Sekolah Waldorf pertama di Belanda didirikan oleh Daniel van Bemmelen pada tahun 1923 (Lutters, 2011).

Perkembangan Pendidikan Waldorf di Amerika

Sekolah Waldorf pertama di Amerika didirikan di New York pada tahun 1928. Berdasarkan Directory of Waldorf and Rudolf Steiner, 2017), tercatat 215 Sekolah Waldorf yang tersebar di Benua Amerika, mencakup Kanada, Amerika Serikat, Republik Dominika, Meksiko, Brazilia, dan beberapa negara lainnya. Jumlah Sekolah Waldorf di Benua Amerika tidak sebanyak di Eropa. 

Walaupun demikian, Sekolah Waldorf dianggap menjadi salah satu sekolah alternatif favorit bagi beberapa ahli IT di Sillicon Valey, yang memilih mendaftarkan anak mereka ke sekolah (khususnya sekolah dasar) yang tidak mengedepankan penggunaan komputer, televisi, dan teknologi sejenis untuk perkembangan awal anak (Dwyer, 2011; Hidayat, 2011). 

Perkembangan Pendidikan Waldorf di Asia

Titik awal perkembangan Pendidikan Waldorf di Asia adalah didirikannya Sekolah Waldorf di Tokyo pada tahun 1986. Jumlah sekolah Waldorf di Asia kini terus bertambah dan tersebar di banyak negara, termasuk Indonesia. 

Beberapa sekolah di Indonesia yang berorientasi pada konsep Pendidikan Waldorf, antara lain Kulila Waldorf di Yogyakarta, Bunga Waldorf di Jakarta, serta Jagat Alit dan Arunika Waldorf di Bandung.

Perkembangan Pendidikan Waldorf di Australia dan New Zealand

Terdapat 50 sekolah dasar dan menengah Waldorf di Australia, 10 sekolah dasar dan menengah Waldorf di 31 di New Zealand,  31 taman kanak-kanak Waldorf di Australia, serta 23 sekolah taman kanak-kanak Waldorf di New Zealand (Directory of Waldorf and Rudolf Steiner Schools, 2017). 

Bahkan di New Zealand, sekolah Waldorf dianggap sukses menerapkan konsep pendidikannya bagi suku Maori (Boland, 2015). 

Walaupun terdapat kontroversi tentang pernyataan tersebut. Sebagian suku pribumi Maori yang merupakan lulusan atau pendidik di Sekolah Waldorf New Zealand mengakui bahwa sekolah Waldorf menggabungkan konsep pedagogi Waldorf dengan pengetahuan masyarakat pribumi (indigenous). 

Namun, pendapat lainnya mengungkapkan bahwa masih kurang dalam memasukkan budaya lokal di sekolah.

Perkembangan Pendidikan Waldorf di Afrika

Pada tahun 1990, didirikan sekolah Waldorf di Afrika untuk pertama kalinya. Sekolah tersebut didirikan di Nairobi, Kenya, Afrika Timur. Kini, di Afrika terdapat 22 sekolah dasar dan menengah Waldorf dan 23 taman kanak-kanak Waldorf (Directory of Waldorf and Rudolf Steiner Schools, 2017). Sekolah-sekolah tersebut tersebar di Mesir, Kenya, Namibia, Afrika Selatan, dan Tanzania.


Itulah informasi tentang perkembangan Pendidikan Waldorf di berbagai daerah. Apakah kalian tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang pendidikan Waldorf?


Referensi

  1. Barnes, H. (2012, Juni 19). Waldorf Education . . . An Introduction. Dipetik Februari 02, 2017, dari The Online Waldorf Library: http://www.waldorflibrary.org/images/stories/articles/barnes_introwaldorfed.pdf
  2. Boland, N. (2015). The Globalisation of Steiner Education: Some Considerations. Research on Steiner Education (ROSE) Journal, Vol.6, 192-202.
  3. Directory of Waldorf and Rudolf Steiner Schools, K. a. (2017, March). Waldorf World List. Dipetik April 03, 2017, dari Freunde der Erziehungskunst: https://www.freunde-waldorf.de/fileadmin/user_upload/images/Waldorf_World_List/Waldorf_World_List.pdf
  4. Dwyer, L. (2011, Oktober 6). Why Are Silicon Valley Executives Sending Their Kids to a Tech-Free School? Dipetik Mei 5, 2017, dari GOOD Worldwide Inc.: https://www.good.is/articles/why-are-silicon-valley-executives-sending-their-kids-to-a-tech-free-school
  5. Gidley, J. M. (2017, April 4). Rudolf Steiner (1861 - 1925). Retrieved Mei 22, 2017, from ResearchGate.
  6. Hidayat, W. S. (2011, November 2). Sekolah Tanpa Komputer Disukai Petinggi Silicon Valley. Dipetik Mei 5, 2017, dari Kompas.com: http://tekno.kompas.com/read/2011/11/02/0646310/Sekolah.Tanpa.Komputer.Disukai.Petinggi.Silicon.Valley
  7. Lutters, F. (2011). An Exploration into the Destiny of the Waldorf School Movement. New York: The Association of Waldorf Schools of North America (AWSNA).
  8. Shiraishi, S. S. (2001). Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
  9. Steiner, R. (1995a). The Spirit of The Waldorf School. New York: Anthroposophic Press.
  10. Uhrmacher, P. B. (1995). Uncommon Schooling: A Historical Look at Rudolf Steiner, Anthroposophy, and Waldorf Education. Curriculum Inquiry Vol. 25, No. 4 Winter 1995, 381-406


Disunting dari Tesis berjudul "Konsep Pendidikan Waldorf dalam Karya Rudolf Steiner dan Relevansinya dengan Konsep Pendidikan Nasional Republik Indonesia" (2018). by Rianita Puspita Sari, M.Pd. Program Studi S2 Pedagogik, Universitas Pendidikan IndonesiaSupervised by Dr. Mamat Supriatna, M.Pd.

Post a Comment

0 Comments