Antroposofi - Landasan Filosofis Pendidikan Waldorf

Antroposofi merupakan landasan filosofis pada konsep pendidikan Waldorf dalam karya Rudolf Steiner. Cara terbaik untuk memahami Pendidikan Waldorf adalah dengan memahami Ilmu Spiritual Antroposofi (Steiner, 1995b; Uhrmacher, 1995; Saliyeva, 2014) karena antroposofi menjadi dasar bagi kurikulum, landasan estetika, metode pedagogis, evaluasi, struktur sekolah, dan tujuan pendidik dalam konsep pendidikan Waldorf.

Definisi Antroposofi

Antroposofi berasal dari “anthropos” (manusia) dan “sophia” (kebijaksanaan). Artinya, Antroposofi merupakan suatu ilmu kebijaksanaan manusia atau ilmu untuk menjadi manusia yang bijak. 

Definisi tersebut terkesan sama dengan definisi dari filsafat secara umum. Namun, Steiner menekankan bahwa Antroposofi merupakan bagian suatu ilmu tentang manusia. Antroposofi mengkaji hal yang terlihat (fenomena), maupun yang secara fisik tidak terlihat, seperti ruh dan jiwa manusia. Implikasinya, antroposofi memberikan pengetahuan pada nilai-nilai spiritual dan sosial dalam kemanusiaan.

Steiner membangun antroposofi dengan harapan agar Antroposofi mampu membimbing manusia memahami kehidupan spiritual yang sesungguhnya (Steiner, 1995a). Spiritual tidak hanya mengkaji hal yang bersifat keimanan, seperti spiritual dalam perspektif keagamaan. Namun, mencakup hal tentang kehendak dan perasaan.

Walapun menganggap Antroposofi mengesankan, McGrath dan Aulthaus (Uhrmacher, 1995) menyatakan bahwa pemikiran Steiner dalam Antroposofi hanya merupakan campuran berbagai aliran dan keyakinan, antara lain romantisme, kristian, spiritual masyarakat Timur, dan bangsa-bangsa lainnya, serta merupakan sintesis dari indic (ajaran/kepercayaan di India), gnostik, dan elemen-elemen mistis.

Amrine (2011) menyanggah bahwa Antroposofi tidak dilandasi atau direduksi dari tradisi religius. Antroposofi menurutnya berakar dari para filsuf idealisme, seperti Schiller, Hegel, Fichte, dan Goethe. Antroposofi tidak memiliki kecenderungan pada ajaran religius tertentu, sehingga Pendidikan Waldorf diyakini dapat diterapkan dalam berbagai konteks budaya dan agama.

Ruang Lingkup Antroposofi

Steiner (1995a) menyatakan bahwa Antroposofi dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk memahami manusia secara holistik, dari esensi fisik, emosi, dan mental. Antroposofi berusaha untuk melengkapi pemahaman manusia tentang manusia.

Tidak hanya memahami perilaku manusia yang dapat dilakukan oleh indera, Antroposofi berusaha memahami manusia hingga pemahaman spiritual. Antroposofi tidak hanya ingin mempengaruhi pemahaman intelektual, namun juga perasaan dan kehendak (Steiner, 1995a). 

Pada saat Steiner mengembangkan Antroposofi, perasaan dan kehendak cenderung belum cukup terjangkau oleh ilmu-ilmu lainnya. Antroposofi berbeda dengan ilmu alam yang cenderung menggunakan indera manusia. Antroposofi berusaha mengkaji perasaan dan kehendak manusia tanpa berprasangka (Steiner, 1995b). 

Hal tersebut yang sangat membedakan Antroposofi dan ilmu alam, yaitu melalui pemahaman tentang hakikat manusia dan rasa pemenuhan batin yang cukup kuat untuk memunculkan rangsangan yang ada dalam jiwa ke kehidupan publik. Antroposofi diharapkan mampu memperluas dan melanjutkan pemikiran sainstifik sehingga dapat diperoleh pengetahuan mendalam pada pikiran dan jiwa.

Pengetahuan yang diberikan tidak hanya berupa teori abstrak, namun mengembangkannya ke dalam suatu pemahaman artistik; pertama pada tubuh manusia dan selanjutnya pada potensi jiwa dan ruh manusia (Steiner, 1995b).

Pencapaian yang diinginkan Steiner adalah mengembangkan metode pemerolehan wawasan ke dalam suatu realitas dunia spiritual yang berkaitan dengan ilmu alam dalam integritasnya. Antroposofi tidak hanya mendukung individu untuk mengembangkan orientasi spiritual yang independen, namun juga menyediakan rangsangan dalam seluruh bidang kebudayaan, serta memungkinkan membuka cakrawala baru dalam pekerjaan dan ide kebudayaan (Goetheanum, 2013).

Bagi Steiner, Antroposofi adalah hidup, bukan hanya suatu teori. Antroposofi adalah suatu peta kehidupan untuk masa depan manusia (Beck, 2011). Antroposofi tidak hanya untuk dipelajari dan dipahami. Namun, esensi Antroposofi harus hidup dalam diri, sehingga akan terwujud apa yang dinyatakan Steiner sebagai ‘peta kehidupan’, yang mengarahkan jalan manusia untuk mencapai tujuannya dalam hidup. 

Hal ini cukup kontroversial. Ketika kita mengemukakan bahwa Antroposofi merupakan 'peta kehidupan'. Manusia memiliki keyakinan akan 'peta kehidupan' yang beragam, antara lain dari aspek agama, budaya, dan dasar negara. Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa keyakinan Steiner tentang berusaha memahami manusia dari berbagai dimensi dirinya menjadi hal yang esensial.

Pemikiran Antroposofis menghasilkan tiga hal utama, yaitu pengetahuan kosmologi Steiner, pemahaman tentang manusia, dan tahapan perkembangan anak menurut Steiner (Uhrmacher, 1995). Ketiga hal tersebut sangat berpengaruh pada konsep pendidikan Waldorf dalam karya Rudolf Steiner.

Perkembangan Antroposofi

Querido (Steiner, 1995b) mengemukakan bahwa tahun 1921 merupakan waktu paling penuh peristiwa bagi pergerakan Antroposofi. Awalnya Steiner hanya memberikan perkuliahan tentang antroposofi di Switzerland dan Jerman. Namun, setelah perang dunia pertama berakhir, Steiner memberikan perkuliahan ke Hague, Oslo, dan Inggris. 

Antroposofi berpusat di Goetheanum yang terletak di Dornach, 10 km ke arah selatan Basel di Pegunungan Jura, Switzerland (Goetheanum, 2013) dimana telah dilaksanakan lebih dari 800 event, meliputi perkuliahan, penampilan euritmik, konferensi internasional, teater, dan pameran. 

Goetheanum menarik lebih dari 150.000 pengunjung per tahun. Selain sebagai pusat Antroposofi, Goetheanum juga merupakan rumah dari School of Spiritual Science and the Anthroposophy Society (Sekolah Ilmu Spiritual dan Komunitas Antroposofi). 

The School of Spiritual Science (Sekolah Ilmu Spiritual) merupakan jantung Antroposofi yang didirikan oleh Rudolf Steiner pada tahun 1924 serta berdasarkan pemahaman bahwa dunia akan menjadi sebagaimana kita memikirkannya; transformasi, sensitisasi, dan pengembangan pemikiran memegang posisi sentral (Goetheanum, 2013). 

Setelah wafatnya Steiner, pergerakan Antroposofi masih terus berkembang. Ini disebabkan pergerakan Antroposofi menawarkan jembatan antara diri (self) dan lainnya (others), serta aktif pada diskusi dimana pengalaman somatik dipertimbangkan dengan serius (Uhrmacher, 1995). Hal tersebut masih sangat dianggap bermakna hingga saat ini bagi para pengikutnya.

REFERENSI

  1. Amrine, F. (2011). Discovering a Genius: Rudolf Steiner at 150. Being Human: Personal & Cultural Renewal in the 21st Century, pp. 6-17.
  2. Beck, J. (2011). Keeping Faith with The Human Being. Being Human: A Personal and Cultural Renewal in the 21st Century, pp. 1-2.
  3. Goetheanum. (2013). Anthroposophy and the Goetheanum: An Introduction. Dornach: General Anthroposophical Society.
  4. Saliyeva, Z. (2014). Using Waldorf Pedagogy Opportunities in The Formation of Spiritual Culture of The Youth. The Advance Science Journal, Vol. 2014, Issue 8, 141-143.
  5. Steiner, R. (1995a). The Spirit of The Waldorf School. New York: Anthroposophic Press.
  6. Steiner, R. (1995b). Waldorf Education and Anthroposophy 1. New York: Anthroposophic Press.
  7. Uhrmacher, P. B. (1995). Uncommon Schooling: A Historical Look at Rudolf Steiner, Anthroposophy, and Waldorf Education. Curriculum Inquiry Vol. 25, No. 4 Winter 1995, 381-406.

Disunting dari Tesis berjudul "Konsep Pendidikan Waldorf dalam Karya Rudolf Steiner dan Relevansinya dengan Konsep Pendidikan Nasional Republik Indonesia" (2018). by Rianita Puspita Sari, M.Pd. Program Studi S2 Pedagogik, Universitas Pendidikan IndonesiaSupervised by Dr. Mamat Supriatna, M.Pd.

Post a Comment

0 Comments