Apakah kesuksesan hanya untuk mereka yang memiliki privilese?

Beberapa hari yang lalu saya berpapasan dengan posting reel di Instagram. Post tersebut menunjukkan seorang pemuda yang sudah berkeluarga, memiliki seorang istri dan seorang anak, serta memiliki rumah dan sebuah mobil.

Komentar yang dituliskan terhadap posting tersebut menarik perhatian saya untuk membaca lebih lanjut. Umumnya, komentar mengemukakan bahwa pemuda tersebut tentunya memiliki privilege karena pada usia muda sudah mampu memiliki rumah dan mobil. 

Banyak pula yang berkomentar bahwa post tersebut hanya tujuan konten belaka. Tidak ada orang yang sukses di usia sangat muda. Informasi yang saya dapat adalah pemuda tersebut berusia di awal 20an.

Hal ini membuat saya berpikir, sebenarnya apa makna privilege? Apakah memiliki orang tua yang kaya, sehingga mampu menempuh pendidikan formal di lembaga pendidikan prestigious atau mendapat kesempatan memulai bisnis di usia muda? Apakah sukses hanya bagi orang yang memiliki privilese?

Diskusi tentang privilese mengingatkan kembali kepada salah satu buku yang pernah saya baca dan tulis reviewnya tahun lalu, Outliers. Artikel ini akan mendiskusikan tentang privilege berdasarkan beberapa kasus yang diungkapkan dalam buku Outliers.












x

Apa itu privilege atau privilese?

Jadi, apa yang dimaksud dengan privilege

Dalam Cambridge Dictionary dikatakan bahwa privilege is an advantage that one person or group of person has, usually because of their position or because they are rich.

Pada kamus tersebut juga dikemukakan bahwa privilege is the way in which people who are rich, come from a high social class, or belong to a particular race or gender have more advantages in society than people who do not belong to these groups.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa privilese adalah keuntungan yang dimiliki oleh seseorang atau suatu grup tertentu dan tidak dimiliki oleh pihak lainnya. Hal ini tidak terbatas dengan privilese finansial saja!


Privilese dalam Buku Outliers

Outliers adalah buku yang ditulis oleh Malcolm Gladwell. Buku ini menceritakan tentang pengalaman sukses dan tidak sukses tokoh terkemuka (ada pula yang tidak) berdasarkan latar belakang mereka.

Review buku ini sudah pernah saya tuliskan pada artikel [BUKU] OUTLIERS – 5 Hal Yang Saya Pelajari tentang Kesuksesan. Menurut saya, pada buku Outliers, Gladwell telah memberikan berbagai kasus terkait privilese.


# Case 1: Atlet hoki di Kanada

Atlet hoki Kanada yang lahir pada awal tahun mendapatkan privilese waktu kelahiran karena deadline aplikasi tim hoki Kanada adalah tanggal 1 Januari. Ini membuat anak-anak yang lahir di awal tahun menjadi anak yang ‘lebih tua’ dan cenderung lebih kuat secara fisik dibandingkan anak yang lahir di akhir tahun. 


# Case 2: Musisi The Beatles

Kesempatan yang didapat The Beatles bermusik di sebuah pub setiap malam membuat mereka mahir dalam bermusik. Mereka berlatih bersama selama berjam-jam. Tidak hanya keterampilan bernyanyi dan bermain alat musik, mereka juga meningkatkan kekompakkan. The Beatles mendapatkan privilese tempat perform.


# Case 3: Bill Gates

Bill Gates mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah yang memfasilitasinya dengan komputer. Dia juga tinggal di lingkungan yang memiliki akses terhadap komputer, sehingga dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggunakan komputer sejak usia remaja. Bill Gates mendapatkan privilege akses terhadap komputer.


# Case 4: Etnis Cina dan matematika

Tidak hanya tokoh-tokoh populer tersebut, Gladwell juga menyatakan kecenderungan etnis Cina yang mahir dalam berhitung karena mereka memiliki privilese latar belakang budaya. Nenek moyang etnis Cina mayoritas bekerja di ladang, membuat mereka mahir dalam memperhitungkan kebutuhan panen, seperti jumlah air, luas lahan, masa panen, hingga durasi terbit-terbenam matahari.


# Case 5: Komunikasi pilot dan co-pilot

Selain itu, Gladwell mengangkat pula isu pilot etnis Asia yang lebih menghormati senior, sedangkan etnis lainnya, seperti Eropa tidak terlalu peduli dengan hal tersebut. Hal ini mempengaruhi kemampuan komunikasi antara pilot dan co-pilot.


Beberapa contoh dalam buku Outliers secara implisit menegaskan bahwa privilese, selain dalam bentuk privilese finansial, memiliki berbagai bentuk lainnya, antara lain waktu kelahiran, tempat perform atau sekolah, lingkungan tempat tinggal, dan budaya.

Uniknya, pada akhir buku, Gladwell menyatakan bahwa outliers sesungguhnya bukanlah outliers sama sekali. Artinya, outliers tidaklah ‘istimewa’. Mereka adalah sekelompok orang yang mampu memanfaatkan privilese yang mereka miliki.


Privilese vs Kungkungan

Jadi, outliers berhasil memanfaatkan privilese yang mereka miliki? Artinya, ada mereka yang tidak berhasil karena tidak memanfaatkan privilese secara optimal.

Menurut saya, ‘keunggulan’ dapat menjadi kunci kesuksesan atau kegagalan. Begitu pula ‘kekurangan’ dapat menjadi kunci sukses atau gagal.

Kita ambil contoh pada kasus tim hoki di Kanada. Mereka yang lahir pada awal tahun akan menjadi anak yang cenderung memiliki fisik lebih kuat dibandingkan anak yang lahir pada akhir tahun yang sama. Anak-anak yang lahir awal tahun mendapatkan privilese. 

Beberapa hal mungkin terjadi. Anak-anak yang lahir di awal tahun tersebut dapat tetap melatih fisik dan skill mereka. Mereka juga dapat tidak berlatih.

Apabila mereka menganggap bahwa tubuh mereka lebih besar dan lebih kuat, sehingga mengabaikan latihan, mungkin mereka telah menyia-nyiakan privilese yang mereka miliki. Bukannya menjadi keunggulan, melainkan menjadi kungkungan. Hambatan mereka untuk berkembang.

Pengandaian yang sama mungkin dapat diterapkan dalam kasus Bill Gates. Dia lahir di lingkungan yang mampu mendukung keterampilannya dalam bidang komputer. Namun, Bill Gates bukanlah satu-satunya remaja yang tinggal dan bersekolah di lingkungan tersebut. Berapa banyak teman-temannya memanfaatkan privilese yang sama?

Di sisi lain, bangsa Asia cenderung menganggap penting senioritas, sehingga sulit membantah ketika senior salah. Apakah artinya tidak memiliki privilese untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan asertif?

Hal ini dapat ‘mengungkung’ untuk berkembang. Misalnya, saya etnis Asia, ketika tidak memiliki sikap asertif dalam berkomunikasi dengan senior, saya menyalahkan latar belakang saya sebagai etnis Asia. Saya tidak memiliki privilege tinggal di lingkungan yang kurang mendukung sifat asertif. Pada situasi ini, saya membiarkan judgement tentang etnis ‘mengungkung’ diri saya. 

Skenario lain yang mungkin adalah saya tidak mau dikungkung oleh stigma etnis Asia yang kurang asertif. Saya tetap berusaha mengembangkan sikap asertif. Berusaha mencari kesempatan untuk mengembangkan sikap tersebut. 

Bukankan etnis Asia memiliki privilese lainnya? Seperti sikap ramah tamah, kondisi iklim yang cenderung lebih bersahabat, dan kaya akan budaya lokal? So, kenapa membiarkan kita terkungkung pada privilese orang lain dan mengabaikan privilese yang kita punya?


Finally . . .

Kembali pada posting reel instagram yang saya lihat beberapa hari lalu. Apakah pemuda tersebut memiliki privilese? Saya yakin kita semua memiliki privilese tertentu. Artinya, pemuda tersebut juga memiliki privilese. Mungkin finansial, budaya, atau yang lainnya. 

Apakah salah dia memanfaatkan privilese yang dimiliki? Saya rasa tidak.

Jadi, dibandingkan kita memberikan judgment negatif kepada orang yang kita anggap memiliki privilese, kita bisa berusaha lebih menghargai usaha mereka. Karena saya yakin, kita semua ingin menjadi sosok ideal, sukses dalam perspektif kita, mencapai versi terbaik diri kita.

The privilege of a lifetime is to become who you truly are - Carl Jung -

Jadi, apakah kesuksesan hanya untuk mereka yang memiliki privilese? Menurut saya, kesuksesan adalah bagi mereka yang berhasil memanfaatkan privilege yang mereka miliki, apapun bentuk privilese tersebut.

Post a Comment

0 Comments